Cerpen : Anwar Kaduhung (Tulisan Revolusi)
Oleh: Budi Hikmah
Mengenang Satu tahun kematian Anwar
Kaduhung. Aku mengikuti pengajian di rumahnya, mendoakan mendiang. Lebih dari
khidmat, Aku melihat orang-orang yang hadir terkesan begitu serius. Kaku, tanpa
sapaan, tanpa senyuman, apalagi basa-basi yang biasanya dianggap gurauan. Tidak
ada sama sekali. Aku melihat semuanya berdoa dengan menekuk muka. Apakah itu
akan terkabul? Atau sebenarnya semua orang tidak ingin medoakan? Atau mungkin sudah
tabiatnya saja demikian? Pikiranku tak karuan, terlebih lagi kala melihat
sampul buku tahlil yang memuat potret almarhum diiringi diksi: Mengenang Kehidupan
yang Hakiki - Anwar Kaduhung, S. R..
Anwar Kaduhung adalah seorang
aktivis mahasiswa. Dia mendeklarasikan dirinya seperti itu. Bukan sebagai aktivis
organisasi ataupun aktivis kampus. Karena menurutnya, Dia beraktivitas atas
kepentingan kemerdekaan dirinya bukan atas kepentingan organisasi yang sarat
intrik, apalagi kepentingan kampus yang penuh money-pulatif (baca: manipulatif).
Dia aktif dalam menulis bak jurnalis. Sehingga sangat peduli betul terkait diksi.
Setiap apa yang dilontarkannya pasti harus bermakna. Sebagaimana tiap-tiap hal
yang hendak diterimanya, tentu mesti melaui analisis yang kritis. Dia sangat
menggema tatkala berada dalam forum-forum diskusi. Gagasan juga pertanyaan,
kerap disampaikannya dengan segenap jiwa bak orang berorasi. Dan baginya,
kemerdekaannya adalah dapat merdeka bersama-sama. Maka setiap orang rakus yang
ingin menang sendiri-tanpa pedulikan khalayak, wajib hukumnya ditentang. Sampai
meninggalnya Dia dari dunia, perjuangannya tak pernah tanggal. Karena
kemerdekaan bersama, nyatanya belum sempat dimenangkan. Mati dalam perjuangan
memang bukan pilihan baik, namun segala yang telah terjadi, itu pasti yg
terbaik, kehendak dari Yang Maha baik.
Selama bergelar mahasiswa, Anwar
kerap bergonta-ganti organisasi. Kepindahannya bukan karena kemauan sendiri,
namun konsekuensi ideal yang wajib dipenuhi. Dia selalu dikeluarkan oleh
organisasinya karena hal indisipliner. Anwar tidak pernah mau mengikuti
kegiatan musyawarah organisasi yang tujuan besarnya adalah pemilihan pimpinan baru
pada organisasi itu. Menurutnya, musyawarah organisasinya adalah musyawarah ala
kolonial. Doktrin devide et impera dari Kolonialis itu betapa lestari di
ranah organisasi mahasiswa khususnya, suatu hal yang musti diluluh-lantakkan
sebenar-benarnya. Oleh sebab itu, rekan-rekannya dalam organisasi, tidak
sepakat dengan buah pikir Anwar sehingga tidak ada pilihan lain selain
mengeluarkannya. Namun berkat potensi yang dimilikinya, mudah saja bagi Anwar untuk
masuk ke organisasi lain meskipun tetap berakhir dengan cerita yang sama.
Pernah sekali, ada organisasi yang tidak mempermasalahkan ketidak-ikut-sertaannya
bermusyawarah. Namun Anwar-lah yang malah memilih keluar karena tahu bahwa
mengikuti musyawarah organisasi adalah kewajiban yang termaktub pada AD/ART
organisasinya, yang berarti perintah mundur kalau-kalau tidak mau melakukannya.
Kecuali jika ordernya disepakati bahwa setiap pemutusan perkara (apalagi pemilihan
pimpinan) dalam musyawarah organisasi itu adalah dengan cara musyawarah-mufakat,
tidak dengan cara lain apalagi voting. Karena rasionalisasinya, toh asas
organisasinya adalah Pancasila, bukan UU Pemilu. Namun ordernya itu terbentur
pada jidat aktivis mahasiswa garapan korporat serta yang bernaung di ketiak para
birokrat. Mereka itulah yang gemar menata rambutnya daripada apa yang ada di
isi kepalanya. Mereka itu biasanya meneriakkan jargon intelektual: Memanusiakan
manusia, tapi untuk membedakan egoisme dan idealisme sahaja belum bisa. Oleh
sebab itu, tak ada kata lain selain minggat. Demikian Anwar.
Dari betapa idealisnya, justru
Anwar pernah sampai mendapatkan kecaman yang semakin hari semakin luas; semakin
kuat, khususnya oleh rekan-rekan mahasiswa pada tahun ke- Tiganya berkuliah. Ketika
Dia malah tidak ikut aksi demonstrasi ke Senayan. Perihal DPR-RI yang kian tak
merepresentasikan sebagai wakil rakyat NKRI. Pada saat itu nyaris seluruh
mahasiswa beraksi mengatasnamakan rakyat, merasa menjadi penyambung lidah
rakyat untuk menyampaikan aspirasi bahwa kebebasan berpendapat tak boleh
direnggut dan subsidi yang sudah berlaku jangan dicabut. Sebagai jawaban atas
kritikan yang tertuju padanya, Anwar membuat tulisan yang diberi judul: Kualitas
Apatisme. Di sana, pada tulisan yang diterbitkan secara online oleh salah satu
website organisasi mahasiswa, Dia menuliskan bahwa demontrasi yang dilakukan
mahasiswa itu absurd. Latar belakangnya abstrak, tujuannya kelam. Taktis seperti
itu tidak ideal menurutnya. Bahkan yang dianggap sebagai kemenangan demonstrasi
semacam Aksi 98 pun hasilnya terbukti tidak signifikan. Buah pikirnya itu
dikuatkan dengan ceramah Cak Nun yang berjudul: Kerusakan Indonesia sejak reformasi
98, yang beredar di youtube. Secara implisit, Cak Nun yang diketahui bersama
bahwa Beliau adalah salah satu motor pada peristiwa itu, mengakui bahwa ada
yang lebih ideal daripada taktis seperti itu. Sehingga Anwar memilih untuk
tidak turut serta dalam aksi demonstrasi. Baginya, daripada turun ke jalan,
lebih baik terjun ke desa-desa. Membangun ideal moral bangsa Indonesia dengan
menyentuh fitrahnya sebagai manusia; menggelorakan agar mengenali jati diri
bangsa nusantara. Semenjak itu, ketidak-harmonisan Anwar dengan aktivis
mahasiswa, khususnya, semakin menjadi-jadi.
Di waktu yang lain, kemudian
Anwar pernah sampai diinterogasi oleh aparat keamanan negara (APN) terkait
tulisannya yang berjudul: Aku Pahlawan. Di sana Dia menguraikan bahwa
distorsi sejarah itu benar adanya serta upaya deislamisi itu nyata. Dia
menerangkan bahwa Bung Karno adalah sosok yang patut dikritisi dalam segenap
gerakan politisnya. Bung Karno adalah tokoh sentral dalam perubahan kesepakatan
dalam kata lain ijtihad para ulama yaitu Piagam Jakarta menjadi Pancasila. Bung
Karno seharusnya menjadi orang pertama yang bertanggungjawab dalam mempertahankan
ataupun mengambil aset atau dokumen negara termasuk wasiat-wasiat kebudayaan
dari para leluhur kerajaan se-Nusantara yang dikuasai oleh Penjajah. Anwar
menerangkan bahwa selain Tan Malaka, ada Kartosoewirjo yang kontra terhadap
gerakan politis Soekarno. Terakhir, Dia pun menegaskan supaya jeli membaca para
Bapak Bangsa Indonesia yang diagungkan itu. Boleh jadi mereka hanyalah produk
politik etis Kerajaan Belanda yang memberikan pendidikan ala kolonial untuk kemudian
dapat melanggengkan kolonialismenya. Karena mereka begitu lihai dalam membuat
manajemen konflik sebagaimana VOC yang direformasi menjadi pemerintahan
Hindia-Belanda. Beruntung, Anwar tidak sampai ditahan oleh APN karena tulisannya
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, Dia bilang itu referensinya dari
Buku Api Sejarah, karya Ahmad Mansur Suryanegara.
Setelah lulus kuliah, Anwar
memenuhi undangan salah satu partai politik untuk menjadi keynote speaker dalam
acara kampanye Pemilu. Hal itu membuat para aktivis mahasiswa yang mengenalinya
geram bukan main. Namun apa yang disampaikannya di acara itu, begitu
menggemparkan. Anwar menyatakan bahwa keadaan politik di Indonesia hari ini tidak
baik-baik saja. Hampir semua pejabatnya berorientasi kekuasaan juga kekayaan. Dan
itu terjadi oleh sebab taktisnya yang kotor yaitu money politic di
mana-mana. Sehingga fokusnya bukan mengurusi negara melainkan pada usaha-usaha
untuk membalikkan modal, selebihnya merauk keuntungan untuk bekal hidup
sementara sebelum datang mati yang mengabadikan. Kondisi buruk tersebut jangan
sampai diwariskan kepada generasi muda sebagai harapan bangsa. Sistem yang
memungkinkan hal-hal itu terjadi tidak perlu dipertahankan. Kita semua harus
dapat berpuasa supaya negara Indonesia dapat menjadi lebih baik. Harus mampu
mengendalikan diri agar negara Indonesia maju secara lahir-bathin. Sudah
saatnya duduk bersama serius memecahkan masalah dengan musyawarah-mufakat.
Bukan terus bermain dengan menantikan hasil hitung-hitungan siapa yang jadi
pemenang. Indikator keadilan adalah keterbukaan dan kebijaksanaan. Dengan
begitu, tak ada keraguan, perubahan akan segera terwujud.
"Kamu gila, nembak kepala
para politisi?" Tegur Aji, teman Anwar, setelah selesai acara.
"War! Kamu kan, yang
sering bilang ke Aku "War! War!"..
"Itu maksudnya manggil nama
kamu, Anwar!"
"Ya, doamu mungkin akan
segera terkabul,"
Aji menahan langkahnya, Anwar
tetap melaju menuju parkiran. "Nama adalah doa, gitu," seloroh Aji,
lantas mengejar laju Anwar.
Dari situ, Aku mendapatkan telepon
untuk segera menciduk Anwar. Tak lama, Dia berhasil kutangkap, kemudian
kuserahkan kepada yang memerintahku. Namun, yang terjadi di luar kendaliku, di
luar informasi yang Aku terima. Anwar dibunuh. Anwar dibunuh oleh yang
memerintah Aku untuk menangkapnya. Jenazahnya kemudian dikirim ke depan
rumahnya. Diiringi uang Satu koper. Aku yang melihatnya di seberang jalan,
begitu hancur. Tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarga Anwar menyaksikan
realita yang begitu mengenaskan.
Dan di rumahnya, setelah Satu
tahun berlalu. Aku menyaksikan uang Satu koper itu menjadi hiasan rumah. Dipajangkan
sesuai kebutuhan dekorasi. Dipajangkan dengan diiringi diksi: Uang adalah
kutukan. Di tengah orang-orang menyantap hidangan setelah selesai mendoakan
mendiang, yang hidangan itu sebagai sedekah dari keluarga almarhum yang
niatannya semoga menjadi amal jariyah, Aku mengambil secarik kertas di tas yang
terjaga selama Satu tahun. Pada kertas itu tulisan Anwar yang Dia tulis di mobil
dalam perjalanan penangkapannya olehku saat itu. Dia menulis kelakar, "Kaduhung,
Ibu ngasih nama Kaduhung buat Anwar. Mungkinkah itu doa yang akan segera
terkabul, Bu?" Kaduhung.
Saat itu, Aku memasukkan kembali
secarik kertas itu ke dalam tas. Baru kali ini aku sanggup menyampaikannya kepada
keluarga Anwar. Setelah Lima tahun. Setelah Lima tahun meninggalkannya, Ibu
baru dapat membaca kelakar anaknya itu, dan
Beliau tersenyum.
Pada Lima tahun kematian Anwar Kaduhung,
Indonesia serasa baru hidup kembali. Revolusi terjadi. Kemerdekaan bersama
terwujud. Setelah "Tulisan Revolusi" itu tersebar hampir ke seluruh
pelosok negeri, cerita perjuangan serta pemikiran Anwar menyinari hati sanubari
bangsa Indonesia yang sudah lelah terombang-ambing dalam kegelapan. Sehingga keterbukaan,
kebijaksanaan, dilengkapi keberserah-dirian, mewujudkan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia yang kini dewasa; saling menghormati, saling menghargai, tanpa
adanya lagi saling curiga. Karena semuanya serius menghayati apa itu ihsan.
Setelah membaca secarik kertas
itu, Ibu menegurku. "Bagaimana rasanya berbuat baik setelah melakukan
keburukan?"
Aku tercengang.
"Membuat buku. Menyimpulkan
segenap tentang Anwar, dan menebarkannya setelah membunuhnya?"
"Aku tidak membunuhnya, Bu,"
______________________________________