![]() |
Foto By Google.com |
Oleh Mochamad Fazhri Syamsi
PERMATA Cabang Bandung
Seorang kawan bertanya apa untungnya
memiliki agama. Agama hanyalah peninggalan masyarakat primitif yang secara
fanatik dan membabi-buta dilestarikan hingga sekarang. Saya tidak menjawab.
Saya mengerti kawan saya tidak benar-benar sedang bertanya; ia hanya ingin saya
tahu dan memaklumi bahwa dirinya seorang ateis. Keinginannya terpenuhi.
Bagi kawan saya itu, mungkin juga bagi
semua orang yang tidak percaya dengan adanya Tuhan, agama sepenuhnya irasional.
Karena agama itu irasional maka agama sangat layak untuk ditinggalkan. Memiliki
komitmen terhadap suatu agama berarti membiarkan akal sehat bertekuk lutut di
hadapan ‘imajinasi kreatif’ masyarakat primitif.
Tidak sulit memahami cara berpikir
kawan-kawan kita yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Dengan menggunakan
dalil logika, mereka mengaku berhasil membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
Menurut mereka, karena Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaannya maka Tuhan
terbukti tidak ada.
Cara berpikir ini membuka celah bagi
munculnya sejumlah pertanyaan. Apakah akal se-infallible itu sehingga layak
dijadikan alat untuk mengonfirmasi ada dan tidak adanya segala sesuatu,
termasuk Tuhan? Apakah akal memang memiliki jangkauan tak terhingga sehingga
selalu bisa memastikan bahwa sesuatu itu benar atau salah? Apakah akal memang
mengetahui segalanya?
Mereka yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
ada karena akal tidak dapat membuktikan keberadaannya mirip dengan sikap
masyarakat Eropa pada abad ke-17 yang menolak hipotesis Isaac Newton tentang
gravitasi bumi ketika hipotesis itu baru diperkenalkan. Mereka menyangkal
hipotesis itu karena bagi mereka gravitasi tidak dapat dibuktikan
keberadaannya. Karena gravitasi tidak dapat dibuktikan keberadaannya maka apa
yang disebut dengan gravitasi itu tidak ada.
Jika benar bahwa akal memiliki pengetahuan
tentang semua hal maka boleh jadi kesimpulan tentang tidak adanya Tuhan itu
benar. Masalahnya, apakah akal memang demikian? Dalam buku-buku pengantar (ya,
pengantar!) psikologi dan antropologi, dinyatakan bahwa kematangan berpikir
manusia tidak dimiliki secara instan, namun bertahap sesuai dengan pertumbuhan
fisik dan perkembangan peradaban.
Seiring berjalannya waktu, kemampuan
berpikir manusia semakin berkembang. Karena terus berkembang, bisa disimpulkan
bahwa kemampuan itu belum sempurna –dan memang tidak akan pernah sempurna.
Seandainya bisa sempurna maka mestinya kemampuan berpikir itu berhenti di satu
titik. Pertanyaan kita, apakah akal yang kemampuan berpikirnya tidak sempurna
itu bisa memiliki pengetahuan yang sempurna tentang segala hal?
Metode penyimpulan “karena sesuatu itu
tidak dapat dibuktikan keberadaannya maka sesuatu itu tidak ada” menyimpan
kesalahan fatal dalam memahami keberadaan Tuhan –dan keberadaan semua hal.
Dalam hidup, manusia memang sangat bergantung pada akal. Tapi, karena hanya
memiliki pengetahuan terbatas tentang semua hal, akal tentu tidak memadai untuk
dijadikan palu pengetuk yang bisa memutuskan ada-tidaknya atau benar-salahnya
sesuatu di alam.
Sesuatu yang keberadaannya tidak dapat dibuktikan
oleh akal bukan berarti tidak ada. Sebab, pengetahuan akal terhadap segala hal
yang ada di alam sangat terbatas. Mengatakan bahwa Tuhan tidak ada karena akal
tidak berhasil membuktikan keberadaannya sama dengan mengatakan menara miring
tidak pernah ada di dunia semata-mata kita tidak pernah melihat menara Pisa.
0 Comments